Thursday 9 July 2015

isi kurikulum pendidikan islam yang digagas oleh para pemikir muslim


 isi kurikuLum pendidikan isLam yang digagas OLEH PARA PEMIKIR MUSLIM 
DiajukanUntukMemenuhi Salah Satu Tuga Semester VI
Program Strata Satu Fakultas Tarbiyah
Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum
DosenPengampu : Dr. Dede Rosadi, Drs. M.Pd.I
Disusun oleh :
KELOMPOK 14
SEMESTER VI C SORE
1.      DIMAS JANTAKA   : 1241170501086
2.      YULI YULIA                        : 12411705010

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NEGERI SINGAPERBANGSA KARAWANG
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa  karena atas rahmat dan petunjuknya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya. ucapan ribuan terima kasih Penulis ucapkan kepada dosen mata kuliah : pengembangan kurikulumyang telah memberi bimbingan dan  kesempatan kepada saya selaku penulis Makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam hal konsep maupun ketikan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran  yang sifatnya membangun dari para pembaca sebagai bahan perbaikan dalam penulisan makalah dimasa mendatang.

Akhirnya, harapan penulis semoga makalah ini dapat bermenfaat bagi para pembaca yang budiman khususnya bagi dirinya penulis, Amin.


Karawang, 24 Mei 205


Penulis


DAFTAR ISI
                                                                                                                           Hal
Kata Pengantar...............................................................................................      i
Daftar Isi........................................................................................................      ii

BAB I   PENDAHULUAN..........................................................................      1
 A.  Latar Belakang .......................................................................................      1
B.   Rumusan masalah  .................................................................................      1
C.   Tujuan Penulisan ....................................................................................      1

BAB II  PEMBAHASAN.............................................................................      2    
A.  Pemikiran Imam Al-Ghazali  ..................................................................      2
B.  Pemikiran Ibnu Khaldun  .......................................................................      7

BAB III                                                                                                           PENUTUP                             12
A.  kesimpulan  .............................................................................................      12
B.  Penutup   .................................................................................................      12

Daftar Pustaka................................................................................................




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
    Hakekat pendidikan Islam adalah segala upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi anak didik untuk diarahkan kepada cita-cita universal Islam tentang manusia berupa terciptanya pribadi muslim yang cerdas secara intelektual, anggun secara moral, dan terampil dalam amal bagi kepentingan sesama..Pengertian tersebuat sudah cukup menunjukkan arti penting pendidikan bagi kehidupan manusia, sebab dengannya, lalu lintas kehidupan yang cukup padat akan tertata dengan rapi. Dengan peran pentingnya dalam kehidupan manusia, keberadaan pendidikan dapat dipastikan telah mengalir bersama perjalanan panjang manusia itu sendiri sejak pertama kali keberadaannya.
          Oleh sebab itu, menilik jauh ke belakang guna melihat konsep-kensep pendidikan yang pernah berlangsung atau digagas oleh para tokoh pendidikan serta menemukan relevansinya terhadap zaman yang terus bekembang merupakan suatu keniscayaan untuk tetap memaksimalkan peran dan fungsi pendidikan dalam kehidupan
B.     Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pemikiran Imam imam Al-ghozali tentang pendidikan atau kurikulum pendidikan agama islam ?
2.         Bagaimana pemikiran Ibnu khaldun tentang pendidikan atau kurikulum pendidikan agama islam ?
C.    Tujuan Penulisan
1.         Untuk mengetahui pemikiran Imam imam Al-ghozali tentang pendidikan atau kurikulum pendidikan agama islam
2.         Untuk mengetahui pemikiran Imam Ibnu khaldun tentang pendidikan atau kurikulum pendidikan agama islam




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan
Sejak kecil, Imam Al Ghazali telah bergelut dengan dunia pendidikan.Maka tidak diragukan lagi dalam hal yang satu ini, beliau menorehkan pemikiran-pemikiran yang senantiasa menjadi inspirasi bagi generasi sesudahnya.
  Di antara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari buku karangannya, yaitu :
Pertama, Fatihatul Kitab menerangkan berbagai pendapat tentang pendidikan, pengajaran dan latihan mental, kedua, Ayyuhal Walad yang melukiskan garis-garis besar kebijakan pendidikan yang ia pandang cocok dengan pendidikan remaja muslim, dan ketiga, Ihya ‘Ulumuddin yang di dalamnya dikaji masalah-masalah pendidikan, fikih, akhlak dan tasawwuf.
 Dari karangan-karangannya ini terlihat jelas bagaimana filsafat pendidikan yang ditorehkan oleh Al Ghazali.Hakikat pendidikan menurut Al Ghazali merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat.Secara sistematis, pemikirannya memiliki corak tersendiri.Ia secara jelas dan tuntas mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen.
1.      Hakikat Ilmu dan Amal Menurut Al Ghazali
Intisari ilmu dalam pandangan Al Ghazali ialah mengetahui apa taat dan ibadah itu. Menurutnya, taat dan ibadah adalah menuruti segala perintah dan larangan pembuat syariat, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan.Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat baginya.Setelah membahas ilmu dan seluk beluknya pasal terakhir tentang ilmu beliau membuat pasal tantang akal dan kemuliannya.
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi.Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah. Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.
Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?. Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu.Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat ataupun binasa.Ia mengutip hadis Nabi saw. “Orang yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah orang berilmu yang belum diberi kesempatan oleh Allah untuk memanfaatkan (mengamalkan) ilmunya".
Al Ghazali berkata kepada muridnya, “Duhai anakku, ilmu tanpa amal adalah kegilaan.Sementara amal tanpa ilmu tak ada artinya.Keserasian antara amal dan ilmu dengan ketentuan syari’at sangat beliau tekankan. Bagi penulis, Al Ghazali adalah sufi yang sebenarnya dan beliau mengkritik kaum sufi yang jauh dari syari’at. Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan.
2.      Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya.Hal ini berlandaskan pada firman Allah SWT, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung". (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak.  Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang 'menganggurkannya' akan jahil.
Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul karimah. Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu :
a)      Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah;
b)      Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah;
c)      Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
3.      Pendidik Pekerjaan mengajar dalam pandangan al-Ghazali
Pekerjaan yang paling mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya : "Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah membukakan hati seorang 'alim dengan ilmu yang dengan itu pula seorang 'alim menampilkan identitasnya.
Syarat pokok seorang guru, bagi Al Ghazali adalah berilmu, tetapi tidak semua yang berilmu pantas menjadi guru. Tetapi ia harus memenuhi kriteria-kriteria yang sangat ketat.
Menurut Al Ghazali, kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi oleh guru (pendidik) meliputi delapan hal:
1.     menyayangi para peserta didiknya, bahkan memperlakukan mereka seperti perlakuan dan kasih sayang guru kepada anaknya sendiri.
2.     guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah SAW.sehingga ia tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda jaasa.
3.     guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada para peserta didiknya.
4.     termasuk ke dalam profesionalisme guru, adalah mencegah peserta didik jatuh terjerembab ke dalam akhlak tercela melalui cara sepersuasif mungkin dan melalui cara penuh kasing sayang, tidak dengan cara mencemooh dan kasar.
5.     kepakaran guru dalam spesialisasi tertentu tidak menyebabkannya memandang remeh disiplin keilmuan lainnya, semisal guru yang pakar dalam ilmu bahasa, tidak menganggap remeh ilmu fikih.
6.     guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didiknya.
7.     terhadap peserta didik yang berkemampuan rendah, guru menyampaikan materi yang jelas, konkrit dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dalam mencernanya.
8.     guru mau mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah menyatunya ucapan dan tindakan.
4        Kurikulum/Materi Pendidikan
Adapun mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun. Dalam hal ini Al Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu : Pertama, Ilmu Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu Ghair Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim.
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu:
1.     Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri, dan sebagainya.
2.     Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap  muslim yang bersumber dari kitabullah.
Sedangkan ditinjau dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu : ilmu yang terpuji (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain.Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban.Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Ilmu yang wajib diajarkan sejak dini menurut Al Ghazali, di antaranya :
1. shalat, puasa, zakat dan haji;
2. Aqidah; dan
     3. Ilmu-ilmu yang dapat menjauhkan dari kcelakaan dan meningkatkan derajat
5.  Metode Pendidikan / pengajaran
            Filosof besar ini menandaskan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan dengan sasaran pendidikan.Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi saw., "Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal", al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti "memberi daging kepada anak kecil".
               Dalam kitabnya Ayyuhal Walad, Al Ghazali dalam metodenya memberikan pemahaman kepada muridnya beliau sering mengutip kisah-kisah dan contoh-contoh. Misalnya kutipan berikut :
    diriwayatkan Lukman Al Hakim berwasiat kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah ayam jago lebih pintar darimu.Di waktu sahur ia telah berkokok, sementara engkau masih terlelap tidur.”Kisah-kisah yang beliau sampaikan lalu di antaranya beliau buktikan dengan sabda Nabi saw.
           Al Ghazali, dalam mendidik anak lebih menekankan aspek afektif dan psikomotoriknya dibandingkan dengan aspek kognitif. Hal ini karena jika anak kecil sudah terbiasa untuk berbuat sesuatu yang positif, masa remaja atau dewasanya lebih mudah untuk berkepribadian yang saleh, dan secara otomatis, pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah diperolehnya.Tarbiyyah Ruhiyah disampaikan olehnya yaitu dengan memerintahkan muridnya untuk shalat tahajjud, berdo’a dan dzikir.
   Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar "perkawinan" multiaspek disiplin ilmu, seperti kalam, tasawuf, falsafah, dan fikih.Kehidupannya penuh dinamika yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan spiritual.Akan tetapi dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah pengajaran sufistik yang menekankan aspek akhlakul karimah sebagai mainstream dari Ihya, karya monumentalnya.
             Bila kini ahli pendidikan menyebutnya sebagai kurikulum berbasis komptensi, al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa perpaduan yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual, yang berpadu pada tasawuf, falsafah dan fikih, satu keniscayaan bagi pelaku dan peserta didik saat ini.

B.     Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun
          Seperti telah disebutkan bahwa dalam perjalanan hidupnya Ibn Khaldun banyak bergelut dengan masalah politik.Namun demikian, etos keilmuan yang dimilikinya cukup tinggi, sehingga aktivitas politik yang digelutinya tersebut bertolak pada ijtihad murni untuk menjadi politisi yang tercerahkan dan alim, di mana setiap agenda politiknya berlandaskan keilmuan dan logika.Kecerdasan, pengalaman dan keilmuanya yang tak diragukan membuatnya begitu cermat dan kritis terhadap fenomena tatanan sosial dan dan ekonomi (masyarakat manusia).Hal ini pada gilirannya berpengaruh pada intuisi intlektualnya dalam meneropong sejarah dan dinamika perkembangannya.
          Sebagai seorang pemikir muslim, Ibn Khaldun merupakan produk sejarah yang tak ternilai harganya. Pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah letak alasan Iqbal mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhaminya dari al-Quran sebagai sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Ungkapan ini dituliskan Ibn Khaldun secara eksplisit dalam al-Muqaddimahnya , bahwa;  dasar dari semua ilmu adalah materi sah dari al-Qur’an dan Sunnah.
          Merujuk kepada kitab al-Muqaddimah,maka akan didapati corak dari pemikiran Ibn Khaldun bahwa dalam setiap analisisnya yang tajam dan rasional, ia senantiasa mengkonsultasikan antara fakta empiric dan rasional dengan wahyu.  Wahyu tidaklah dia letakan sebagai premis minor dalam tata fikir yang dikembangkannya, tetapi sebagai premis mayor yang menjadi referensi setiap pemecahan masalah
1.      Kurikulum dan Materi
     Berbeda dengan pengertian kurikulum modern yang telah mencakup konsep lebih luas dan setidaknya terdiri dari tiga point penting, yaitu; mencakup kurikulum yang memuat isi dan materi pelajaran, kurikulum sebagai rencana pembelajaran dan kurikulum sebagai pengalaman belajar. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih cukup sempit, yaitu terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.Pengertian yang sempit terhadap kurikulum pada zaman itu tidak saja berlaku pada dunia Islam, bahkan juga di sebahagian negeri-negeri Timur, negeri-negeri Afrika yang bukan Islam, bahkan negeri-negeri Barat.
     Kembali kepada ibn Khaldun, dalam pembahasannya mengenai kurikulum ibn Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Dari hasil analisis komparasinya, disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik setidaknya meliputi tiga hal, yaitu: pertama, kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga, kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan sebagainya).
     Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini ibn Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yaitu:
         I.     Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini merupakan ilmu pengetahuan alami bagi manusia melalui bimbingan pikirannya. Ibn Khaldun berpendapat manusia memiliki persepsi-persepsi yang akan membimbingnya kepada objek-objek dengan problema, argumen dan metode pengajaran.
Ilmu aqli di bagi menjadi empat kelompok, yaitu :
ØIlmu Logika
ØIlmu Fisika
ØIlmu Metafisika
ØIlmu Matematika
       II.     Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
     Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Ibn Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu :
Ø  Al-Quran dan Hadits
Ø  Ulum al-Quran
Ø  Ulum Hadits
Ø  Ushul Fiqh
Ø  Fiqh
Ø  Ilm al-Kalam
Ø  Ilm al-Tasawuf
Ø  Ilm al-Ta’bir Ru’ya
Menurutnya, Al-quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak. Al-Quran mengajarkan kepada anak tentang syariat Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap umat Islam. Ilmu-ilmu naqli hanya ditujukan untuk dipelajari pemeluk Islam. Walaupun dalam setiap agama sebelumnya ilmu-ilmu tersebut telah ada, akan tetapi berbeda dengan yang tedapat dalam Islam. Dalam Islam, eksistensi ilmu berfungsi menasakhkan ilmu-ilmu dari setiap agama yang lalu dan mengembangkan kebudayaan manusia secara dinamis.
Dengan pembatasan ibn Khaldun terhadap ilmu-ilmu naqliyyah hanya pada umat Islam, baik dalam teori maupun prakek, tampak bahwa ia meletakkan eksplorasi intelektual akal pikir dalam ruang lingkup keilmuan ini di antara dua pembatas, yaitu: pertama, larangan mengkaji kitab-kitab suci selain al-Qur’an. Kedua, penyerahan (percaya) sepenuhnya terhadap generasi terdahulu (salaf) berkenaan dengan buah pemikiran mereka dalam lingkup kajian keilmuan naqliyyah  tersebut. Atau dengan kata lain, ibn Khaldun telah menutup pintu ijtihad dalam setiap hal yang terkait dengan keilmuan naqliyyah.
Selanjutnya Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
Ø  Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
Ø  Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
Ø  Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
Ø  Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
2.    Metode Pendidikan
     Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada kitab al-Muqaddimahnya.Ia menjelaskan bahwa didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, seoarang pendidik hendaknya: Pertama: Memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik. Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi, baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci. Ketiga: Pada langkah ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.
     Secara eksplisit (dalam muqaddimah) Ibn Khaldun juga menyebutkan metode diskusi sebagai sebuah metode yang unggul, sebab dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, di samping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Dengan berdiskusi menurutnya kreativitas pikir anak akan lebih hidup, anak juga dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Metode ini menurutnya merupakan cara yang mampu menjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian.

















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan di atas tentang pemikiran pendidikan Ibn Khaldun, maka dapat disimpulkan bahwa Ibn Khaldun merupakan seorang pemikir pendidikan yang cukup cemerlang, dimana dalam pemikiran-pemikirannya baik dalam bidang pendidikan maupun lainnya ia selalu mendasarkannya kepada fakta empirik dan kemudian mengkonsultasikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah yang dijelaskannya merupakan dasar dari ilmu pengetahuan. dengan kecemerlangan pikirannya ia berhasil mendudukan secara proporsional ilmu-ilmu naqliyyah dengan aqliah.
Dalam pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pemikiran pendidikan dari seorang Al Ghazali yang konfrehensip.Ia telah begitu tuntas membahas baik dari segi epistemologi, ontologi dan aksiologi, secara teoritis maupun praktis. Unsur-unsur pokok kependidikan yang sedikitnya terdiri dari murid, guru, dan materi serta metode telah dipaparkan oleh keduanya. Sementara Ibnu Maskawaih telah memberikan andil terutama dalam segi teori-teori yang berhubungan dengan akhlak dan psikologi perkembangan
2.      Saran
Kami menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan








DAFTAR PUSTAKA
      1.            Nata Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2010
      2.            Dauay putra haedzar, Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006
      3.            Omar mohammad, filsafah Pendidikan Islam, Buan bintang, Jakarta, 1 7 
      4.            Riwayat ibnu khaldun di unduh dari http// : coretan ilmu tanggal 25-05-2015 puku 18 : 40

No comments:

Post a Comment